Bisnis

Kisah Al Biruni, Sang Astronom


REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR — Banyak sekali ulama di masa lalu yang menimba ilmu dengan sepenuh hati, sehingga waktu demi waktu berlalu hanya demi ilmu. Salah satu ulama klasik tersebut adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al Biruni.

Al Biruni lahir pada tahun 362 H/973 M di Beruniy, sebuah distrik di kawasan Asia Tengah. Saat itu kawasan ini merupakan bagian dari Negara Kwarazmi yang kini menjadi bagian dari Republik Uzbekistan. Al Biruni wafat pada tahun 440 H.

Disebutkan dalam Mu’jamul Udaba karya Yaqut Al Hamawi bahwa Al Biruni adalah seorang ahli astronomi, sejarawan, ahli bahasa Arab, jenius sastra, dan juga menguasai berbagai disiplin ilmu.

Al Biruni diberi anugerah umur panjang. Namun, meski diberi kemuliaan dalam banyak hal, ia tetap gigih dalam menimba ilmu. Bahkan pada saat kematian.

“Dia membuka pintu-pintu ilmu, menguasai aspek-aspek rumit maupun sederhana yang sulit dipahami dan sangat jelas maknanya, sehingga tangannya hampir tidak pernah lepas dari pena,” jelas Syaikh Abdul Fattah dalam ‘Manajemen Waktu para Ulama’, mengutip Mu’jamul Udaba karya Yaqut Al Hamawi.

Mata Al Biruni tidak bisa berhenti memandang. Hatinya juga terus berpikir. Kecuali dua hari libur setiap tahunnya, untuk sekadar mempersiapkan kebutuhannya, baik berupa sandang, pangan, maupun perabot rumah tangga.

Sedangkan pada hari-hari biasa, aktivitas ilmiah Al Biruni menampakkan segala bentuk kesulitan yang ada di wajahnya, yakni dengan mengeksplorasi segala permasalahan keilmuan. Dan menyingsingkan lengan bajunya, bekerja keras untuk mencapai tujuannya.

Pakar fiqih, Abul Hasan Ali bin Isa Al Walwaliji pernah berkata, “Saya pernah bertemu dengan Abu Ar Rayhan (Al-Biruni) dalam keadaan sekarat, nafasnya sesak, dan dadanya terasa sesak (saat itu usianya sudah 78 tahun).”

Dalam kondisi seperti itu, Al Biruni bertanya, “Bagaimana pendapatmu tempo hari, mengenai bagian warisan kakek Fasidah (yakni kakek dari pihak ibu)?”

Merasa kasihan, Al Walwaliji bertanya balik, “Pantaskah kamu bertanya seperti itu dalam kondisi seperti ini?”

Al Biruni berkata, “Jika aku meninggalkan dunia ini dalam kondisi mengetahui ilmu tentang masalah ini, bukankah itu lebih baik daripada aku hanya bisa membayangkannya dan tidak mengetahui ilmu tentangnya?” kata Al Biruni.

Kemudian Al Walwaliji mengutarakan pendapatnya mengenai hal tersebut yang kemudian diingat oleh Al Biruni. Setelah itu, giliran al-Biruni yang mengajari Al-Walwaliji apa yang telah dijanjikannya.

“Saya keluar dari rumahnya. Saat saya masih di jalan di luar rumahnya, saya mendengar teriakannya,” kata Al Walwaliji.


sumber: Dok Republika



ditulis oleh Nusarina Buchori
the jakarta press

Anda dapat mengirimkan berita di https://t.me/trackred

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button