Bisnis

Apakah Puasa Ashura Merupakan Tradisi Yahudi? Berikut Jawabannya

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah. Nama Muharram secara etimologi berasal dari kata “haram” yang berarti suci atau terlarang. Muharram diagungkan karena pada bulan ini dilarang berperang.

Dalam surat At-Taubah ayat 36, Muharram merupakan salah satu dari empat bulan suci (arba’atun hurum). Selain Muharram, tiga bulan suci lainnya adalah Zulqa’dah, Zulhijah, dan Rajab, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Muharram memiliki hari yang mulia bagi umat Islam. Salah satu amalan yang istimewa di bulan ini adalah puasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari ke-10 bulan Muharram. Rasulullah shallallahu alahi wassalam memerintahkan puasa pada hari tersebut sebelum puasa wajib Ramadhan dan setelah puasa wajib Ramadhan.

Rasulullah saw memperbolehkan berpuasa atau tidak. Puasa pada tanggal 10 Muharram juga dapat digabung dengan puasa pada tanggal 9 Muharram (puasa Tasu’a).

Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas ra yang diriwayatkan: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pula, maka mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani..’” (HR. Muslim).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra disebutkan bahwa pada masa Jahiliyah, kaum Quraisy berpuasa Asyura, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berpuasa Asyura hingga beliau mewajibkan puasa Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa Asyura, silakan saja, dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa, silakan saja berbuka.” [Hadis muttafaq ‘alaih].

Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas ra disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, maka insya Allah kami akan berpuasa tahun depan.” [juga] pada hari kesembilan.” Namun, sebelum tahun berikutnya tiba, Rasulullah (saw) telah meninggal dunia.” [HR Muslim dan Abu Dawud].

Jadi apakah puasa Ashura merupakan tradisi Yahudi?

Rasulullah saw melaksanakan puasa Asyura tentu dengan izin Allah, bukan “mengikuti” agama lain. Ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah, beliau mendapati bahwa orang-orang Yahudi di Madinah juga berpuasa pada hari Asyura.

Rasulullah menanyakan hal ini karena sebelumnya beliau telah melaksanakan puasa Asyura mengikuti tradisi Ibrahim yang tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah menjadi alasan lain bahwa pada hari Asyura juga terjadi peristiwa Nabi Musa diselamatkan dari bala tentara Fir’aun.

Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad merasa lebih berhak untuk berpuasa sehingga beliau menegaskan kembali sunah puasa Asyura. Oleh karena itu, Nabi Muhammad sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi karena bahkan sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi Madinah beliau telah berpuasa Asyura.

Dalam aspek peribadatan, umat Islam pada awalnya sama dengan umat Yahudi, kemudian berubah ketika ajaran Islam semakin lengkap dalam wahyu-wahyunya, seperti arah salat. Awalnya, arah salat umat Islam adalah Baitul Maqdis, kemudian berubah menjadi Kakbah.

Puasa Asyura termasuk dalam kategori ini, pada awalnya Rasulullah SAW berpuasa pada hari yang sama dengan orang-orang Yahudi Madinah, namun kemudian beliau memberi pembeda dengan menganjurkan puasa tasu’ah (9 Muharram), sehari sebelum 10 Muharram.



ditulis oleh Nusarina Buchori
the jakarta press

Anda dapat mengirimkan berita di https://t.me/trackred

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button